Selasa, 02 Juni 2020

Materi Sosiologi Kelas X Semester Ganjil

Sejarah Sosiologi Dunia

SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI DUNIA DAN DI INDONESIA

A. Masa Sebelum Auguste Comte

1. Socrates (490 SM – 399 SM)
Socrates mengajarkan yang penting yaitu mengenai ditekankannya logika sebagai dasar bagi semua ilmu pengetahuan termasuk filsafat.

2. Plato (429 SM – 347 SM)
Plato menerangkan bahwa pada dasarnya, masyarakat adalah perluasan/refleksi dari individu. Menurutnya, individu memiliki 3 unsur, yaitu :
- Nafsu atau perasaan-perasaan
- Semangat atau kehendak
- Akal atau kecerdasan

Berdasarkan unsur-unsur tersebut Plato membedakan masyakat menjadi 3 kelas social, yaitu :
  1. Orang yang hidup hanya untuk memenuhi nafsu dan perasaan, seperti memelihara tubuh. Diantaranya adalah kelas pekerja tangan, seperti buruh dan budak
  2. Mengabdikan hidupnya karena semangat atau kehendak yang berfungsi melindungi tubuh manusia maupun masyarakat, misalnya golongan militer
  3. Kaum yang mengembangkan akal dan kecerdasan untuk membimbing tubuh manusia, memerintah, dan memimpin masyarakat. Mereka termasuk kelas penguasa
Dengan menganalilis lembaga-lembaga dalam masyarakat, Plato berhasil menunjukkan hubungan-hubungan fungsionalnya dan merumuskan suatu teori organis tentang masyarakat itu sendiri yang mencakup bidang sosial dan ekonomi.

3. Aristoteles (384 SM – 322 SM)

Melalui suatu analisis mendalam terhadap lembaga-lembaga politik dalam masyarakat terhadap sosial, ekonomi, dan biologis, Aristoteles berpendapat bahwa kelompok manusia yang dasar dan esensial adalah pengelompokan antara pria dan wanita untuk memperoleh keturunan, dan asosiasi antara penguasa yang dikuasai. Aristoteles juga memberikan tiga bentuk pemerintahan yang dilihat dari segi jumlah pemegang kepemimpinannya, yaitu :
  1. Pemerintahan oleh satu orang; jika ia memerintah dengan baik disebut monarki dan jika ia memerintah dengan buruk disebut tirani
  2. Pemerintahan oleh sejumlah kecil orang; jika memerintah dengan baik disebut aristokrasi dan jika buruk disebut oligarki
  3. Pemerintahan oleh banyak orang; baik atau pun buruk jalannya suatu pemerintahan tetap disebut demokrasi
4. Ibnu Khaldun (1322 – 1406)

Mengemukakan beberapa prinsip pokok untuk menafsirkan kejadian sosial dan peristiwa sejarah. Menurutnya, faktor yang menyebabkan bersatunya manusia di dalam suku-suku klan, negara, dan sebagainya adalah rasa solidaritas. Faktor itulah yang menyebabkan adanya ikatan dan usaha-usaha atau kegiatan-kegiatan bersama antara manusia.

5. Zaman Renaissance (1200 – 1600)

Thomas More menulis Utopia dan Campanella menulis City of the Sun berdasarkan pemikiran mereka yang terpengaruh oleh masyarakat-masyarakat ideal. Niccolo Machiavelli sebagai orang pertama yang memisahkan antara politik dan moral sehingga terjadi suatu pendekatan yang mekanis terhadap masyarakat. Di sini muncul ajaran bahwa teori-teori politik dan sosial memusatkan perhatian pada mekanisme pemerintahan. Sejak masa ini maka pengaruh kaum agamawan mulai memperoleh tantangan. Ia terkenal dengan karyanya yang berjudul Il Principe.

6. Thomas Hobbes (1588 – 1679)

Inti ajarannya diilhami oleh hukum alam, fisika dan matematika. Pada mulanya interaksi antar manusia berada dalam kondisi saling mencurigai dan saling bersaing untuk memperebutkan sumber daya alam dan manusia yang ada. Kondisi yang bersifat kodrati (sesuai dengan hukum alam) ini kemudian dipandang akan selalu menyengsarakan kehidupan manusia, dan manusia pada dasarnya lebih senang hidup berkelompok dalam keadaan tentram dan damai. Oleh sebab itu dibuatlah kesepakatan-kesepakatan pengaturan antar kelompok yang dapat saling berterima dan saling menguntungkan, yang kemudian dikenal sebagai kontrak sosial.

7. John Locke (1632 – 1704)

Menurut Locke, manusia pada dasarnya memiliki hak-hak asasi yang berupa hak untuk hidup, kebebasan, dan hak atas harta benda. Kontrak antara warga masyarakat dengan pihak yang berwenang sifatnya atas dasar faktor pamrih. Bila pihak yang mempunyai wewenang tadi gagal unruk memenuhi syarat-syarat kontrak sosial, warga atau masyarakat berhak untuk memilih pilihan lain.

8. J.J. Rosseau (1712 – 1778)

Dia berpandangan bahwa kontrak antara pemerintah (negara) dengan yang diperintah (rakyat) menyebabkan munculnya suatu kolektifitas yang mempunyai keinginan­-keinginan tersendiri yang kemudian menjadi keinginan umum. Keinginan umum inilah yang harusnya menjadi dasar penyusunan kontrak sosial antara negara dengan rakyatnya.

9. Saint Simon (1760 – 1825)

Di dalam bukunya yang berjudul Memoirs sur la Science de l’Home, dia menyatakan bahwa ilmu politik merupakan suatu ilmu positif yang hendaknya dianalisis dengan metode-metode yang lazim dipakai terhadap gejala-gejala lain. Ia memikirkan sejarah sebagai suatu fisika sosial, sehingga fisiologi sangat memengaruhi ajaran-ajarannya mengenai masyarakat. Masyarakat bukanlah semata-mata suatu kumpulan orang belaka yang tindakan-tindakannya tidak mempunyai sebab, kecuali kemauan masing-masing. Kumpulan tersebut hidup karena didorong oleh organ-organ tertentu yang menggerakkan manusia untuk melakukan fungsi-fungsi tersebut.


B. Masa Auguste Comte (1798 – 1853)

Auguste Comte melihat bahwasannya perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat saat itu tidak saja bersifat positif, namun juga memberikan adanya dampak negatif. Salah satu contohnya adalah terjadinya konflik antarkelas social dalam masyarakat dikarenakan hilangnya norma atau pegangan bagi masyarakat untuk bertindak (yang dalam bahasa sosiologi disebut dengan Anomie). Menurutnya, konflik tersebut terjadi karena masyarakat tidak mengetahui cara mengatasi perubahan akibat revolusi yang berlangsung dan hukum-hukum apa yang bisa dipakai untuk mengatur tatanan social masyarakat yang baru. Atas dasar fenomena tersebut, Comte menyaarankan agar penelitian mengenai masyarakat lebih ditingkatkan dan menjadi ilmu yang berdisi sendiri. Comte mengimaninasikan adanya suatu hukum yang dapat mengatur gejala-gejala social, yang disebut sosiologi, sehingga ia terkenal sebagai Bapak Sosiologi. Istilah sosiologi ia tuliskan dalam karya utamanya yang pertama, berjudul The Course of Positive Philosophy yang diterbitkan dalam tahun 1838.

Comte menyusun suatu sistematika dari filsafat sejarah dalam kerangka tahap-tahap pemikiran yang berbeda. Menurutnya, ada tiga tahap perkembangan intelektual, yaitu :
  1. Tahap Teologis/ Fiktif; manusia menafsirkan gejala-gejala di sekelilingnya secara teologis, yaitu dengan kekuatan-kekuatan yang dikendalikan oleh Tuhan Yang Maha Esa atau roh dewa-dewa. Penafsiran ini penting untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang memusuhinya dan untuk melindungi dirinya dar faktor-faktor yang tak terduga timbulnya
  2. Tahap Metafisik; manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala fisik terdapat kekuatan atau inti tertentu yang dapat diungkapkan. Manusia masih terikat oleh cita-cita tanpa verifikasi karena adanya kepercayaan terhadap realitas tertentun dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam
  3. Tahap Positif; manusia telah membatasi diri dalam penyelidikannya pada fakta-fakta yang disajikannya atas dasar observasi dan dengan menggunakan rasionya, untuk berusaha menetapkan relasi atau hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara fakta-fakta. Pada zaman terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.
Suatu ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala yang nyata dan konkret, tanpa ada halangan dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Dengan demikian, ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur sejauh mana ilmu tadi dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Hierarki ilmu pengetahuan menurut tingkat pengurangan generalitas dan penambahan kompleksitasnya adalah :
1. Matematika
2. Astronomi
3. Fisika
4. Kimia
5. Biologi
6. Sosiologi

Hal yang menonjol dari sini adalah penilaiannya terhadap sosiologi yang merupakan ilmu pengetahuan paling kompleks dan akan berkembang dengan sangat pesat. Sosiologi merupakan studi positif tentang hukum-hukum dasar dari gejala sosial. Comte membedakan sosiologi menjadi :
  1. Sosiologi Statis; semacam anatomi sosial yang mempelajari tatanan sosial, aksi-aksi dan reaksi timbal balik dari sistem-sistem sosial
  2. Sosiologi Dinamis; mengkaji mengenai kemajuan dan perubahan sosial, dimana masyarakat menunjukkan adanya perkembangan menuju suatu kesempurnaan
Ia menyatakan bahwa hubungan antara statika dan dinamika merujuk pada konsep order bahwa semua gejala sosial saling berkaitan dan tidak dapat dimengerti secara terpisah, tetapi harus dilihat sebagai satu kesatuan yg saling berhubungan didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis bukan pada kekuasaan dan spekulasi


C. Masa Sesudah Auguste Comte

1. Herbert Spencer (1820 – 1930)

Walaupun Comte yang memunculkan istilah sosiologi, namun istilah tersebut dipopulerkan oleh Herbert Spencer dalam bukunya yang berjudul Priciples of Sociology pada tahun 1876. Didalam buku tersebut, spencer mengembangkan sistem penelitian mengenai masyarakat dimana ia menerapkan teori evolusi organic pada masyarakat secara luas bahwa masyarakat mengalami evolusi dari masyarakat primitif ke masyarakat industry. Ia berpendapat bahwa kemajuan organisme dari jenis rendah ke tinggi adalah jenis kemajuan dari keseragaman struktur. Ia juga mempertahankan pola sebab akibat dalam memandang suatu masalah, misalnya dalam kaitannya dengan perilaku masyarakat manusia maupun semua hal yang berasal dari alam.

2. Karl Marx (1818 – 1883)

Sumbangan utama Marx bagi sosiologi terletak pada teorinya mengenai kelas sosial yang tertuang dalam tulisannya yang berjudul The Communist Manifest yang ditulis bersama Friedrich Engels. Marx berpandangan bahwa sejarah masyarakat manusia merupakan sejarah perjuangan kelas. Menurut Marx perkembangan pembagian kerja dalam kapitalisme menumbuhkan dua kelas yang berbeda, yaitu kelas borjuis (majikan) terdiri dari orang-orang yang menguasai alat produksi dan kelas proletar (buruh) yang tidak memiliki alat produksi dan modal sehingga menjadi kelas yang dieksploitasi oleh kelas borjuis (majikan).

Menurut Marx, suatu saat kelas proletar akan menyadari kepentingan bersama dengan melakukan pemberontakan dan menciptakan masyarakat tanpa kelas (komunis). Pemikiran tentang stratifikasi dan konflik sosial berpengaruh terhadap pemikiran perkembangan sosiologi khususnya terkait dengan kapitalisme, untuk menciptakan masyarakat yang adil, sama rata sama rasa, dan terhindar dari segala bentuk eksploitasi.

3. Emile Durkheim (1858 – 1917)

Sosiologi baru berkembang menjadi sebuah ilmu setelah Emile Durkheim mengembangkan metode sosiologi dalam bukunya Rules of Sociology Method, yaitu:
  1. Sosiologi harus bersifat ilmiah dimana fenomena-fenomena sosial harus dipelajari secara objektif dan menunjukkan sifat kausalitasnya
  2. Sosiologi harus memperlihatkan karakteristik sendiri yang berbeda
  3. Menjelaskan kenormalan patologi
  4. Menjelaskan masalah sosial secara “sosial” pula
  5. Menggunakan metode komparatif secara sistematis
Selain itu, dalam bukunya The Division of Labour Society, Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat manusia memerlukan solidaritas dengan membedakan dua tipe utama solidaritas yaitu :
  1. Solidaritas mekanis; biasanya ditemui pada masyarakat sederhana, didasarkan pada persamaan, hati nurani, akal, dan hukum
  2. Solidaritas organis; ditandai dengan adanya saling ketergantungan antar individu atau kelompok lain dan tidak lagi sendiri memenuhi kebutuhannya
Lambat laun pembagian kerja dalam masyarakat (diferensiasi atau spesialisasi) semakin berkembang sehingga solidaritas mekanis akan berubah menjadi solidaritas organis.

4. Max Weber (1864 – 1920)

Karya penting dari Weber berjudul The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism yang berisi hubungan antara Etika Protestan dalam hal ini Sekte Kalvinisme dengan munculnya perkembangan kapitalisme. Menurut Weber, ajaran Kalvinisme mengharuskan umatnya untuk bekerja keras dengan harapan dapat menuntun mereka ke surga dengan syarat bahwa keuntungan dari hasil kerja keras tidak boleh untuk berfoya-foya atau bentuk konsumsi lainnya. Hidup sederhana dan melarang segala bentuk kemewahan menjadikan para penganut agama ini semakin makmur karena keuntungan yang dihasilkan ditanamkan kembali menjadi modal. Dari sinilah menurut Weber kapitalisme di Eropa berkembang pesat.

Selain itu, Weber memandang bahwa hanya individu-individu sajalah yg riil secara obyektif, dan masyarakat adalah satu nama yg menunjukan pada sekumpulan individu yg menjalin hubungan. Pandangan beliau tentang tindakan sosial inilah yg kemudian menjadi acuan dikembangkannya teori sosiologi yg membahas interaksi sosial


D. Sejarah Perkembangan Sosiologi di Indonesia.

Belajar itu mudah- Kali ini di learniseasy.com akan menjelaskan tentang bagaimana sejarah perkembangan ilmu sosiologi di Indonesia. Sebelumnya dalam telah dijelaskan perkembangan ilmu sosiologi klasik , kali ini kita akan bahas sejarah perkembangannya di Indonesia. Sosiologi pada awalnya, Di Indonesia, belum pernah ada kajian kajian tentang masyarakat yang terangkum dalam satu konsep ilmu pengetahuan yang di namakan sosiologi. Akan tetapi, konsep sosiologi secara tidak langsung dituangkan dalam berbagai ajaran dan karya pujangga di pelosok Nusantara. Contohnya saja, ajaran “Wulang Reh” yang ditulis oleh Sri Paduka Mangkunegoro keempat dari Keraton Surakarta. Di dalam ajaran Wulang reh tersebut diajarkan tentang pola pola hubungan antara anggota anggota masyarakat Jawa dari berbagai kalangan dan kelas yang berbeda. Hal yang sama juga dapat anda temukan dalam ajaran Ki Hajar Dewantoro, sebagai peletak dasar dasar pendidikan Nasional di Indonesia, tentang dasar dasar kepemimpinan dan keluarga yang terangkum dalam konsep “Ing ngarsa sung tuladha, (Di depan memberikan contoh yang baik) ing madya mangun karsa, (Di tengah memberikan semangat), tut wuri handayani (dibelakang memberikan dorongan atau kekuatan)”. Secara tidak langsung merupakan peletak dasar konsep sosiologi di Indonesia.

Selain itu, unsur unsur sosiologis juga dapat anda temukan dalam karya karya peneliti sebelum masa kemerdekaan yang berasal dari negara lain seperti Snouck Hurgronje, C. van Valenhoven, Ter Har, Duyvendak, dan lainnya. Objek dari karya penelitian mereka adalah keadaan masyarakat di Indonesia (Walaupun pada masa itu belum ada Indonesia). Akan tetapi, deskripsi sosiokultural masyarakat Indonesia pada saat itu masih bersifat nonsosiologis dan bukan sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri.bDengan demikian, dapat dikatakan bahwa deskripsi tentang keadaan sosiokultural masyarakat Indonesia tersebut sudah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tetapi konsep penelaan ilmiah tersebut belum dapat menjadi ilmu yang berdiri sendiri, melainkan hanya sebagai pembantu terhadap ilmu ilmu lainnya. Dengan demikian sosiologi pada saat itu hanya bersifat pelengkap atau komplementer.

Pada saat sebelum perang dunia kedua, hanya Sekolah tinggi hukum di Jakarta yang menjadi lembaga di Indonesia yang memberikan kuliah tentang ilmu sosiologi. Walaupun begitu, pembelajaran sosiologi dalam lembaga pendidikan tinggi tersebut belum merupakan ilmu yang berdiri sendiri melainkan hanya sebagai pelengkap mata kuliah di bidang hukum. Para pengajarnya juga bukan dari orang orang yang secara khusus membidangi di bidang disiplin ilmu tersebut sebab di Indonesia pada saat itu belum ada seorangpun sarjana yang khusus membidangi disiplin ilmu sosiologi. Sementara sosiologi yang diajarkan dalam kuliah tersebut juga masih berupa filsafat dan teori sosial. Bahkan pada tahun 1934-1935, mata kuliah sosiologi di lembaga pendidikan tinggi Hukum dihilangkan, hal ini disebabkan oleh adanya pendapat salah satu guru besar ilmu hukum bahwa pengetahuan tentang bentuk dan susunan masyarakat serta proses yang terjadi dalam masyarakat tidak dibutuhkan dalam mempelajari dan dalam pendidikan hukum.

Dalam pandangan guru besar di bidang hukum pada saat itu bahwa hukum positif tidak lebih hanyalah peraturan peraturan yang berlaku dengan sah pada suatu waktu dan suatu tempat tertentu, sehingga yang terpenting dalam pembelajaran di bidang hukum adalah perumusan peraturan dan sistem untuk menafsirnya. Barulah setelah terjadinya perang dunia kedua yaitu tepat setelah Proklamasi kemerdekaan di proklamirkan, Prof. Mr. Soenario Kolopaking yang memberikan kuliah sosiologi untuk pertama kalinya pada tahun 1948 di Akademi Ilmu Politik di Yokyakarta yang tidak lama kemudian dilebur dalam Universitas Negeri Gajah Mada Yokyakarta.

Di Universitas Gajah Mada lah, sosiologi di ajarkan di Indonesia sebagai ilmu pengetahuan dalam jurusan Ilmu pemerintahan dalam negeri, hubungan luar negeri, dan publisistik. Selanjutnya pada tahun 1950, beberapa anak bangsa memperdalam ilmu sosiologi di luar negeri dengan secara khusus kuliah tentang ilmu sosiologi. Salah satu tanda perkembangan sosiologi di Indonesia pada masa itu adalah dengan terbitnya buku sosiologi dengan judul “Sosiologi Indonesia” yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh Mr. Djody Gondokusumo yang berisikan tentang pengertian dasar sosiologi secara teoritis dan bersifat filsafat.

Kemudian perkembangan sosiologi di Indonesia berlanjut pada tahun 1950 dengan terbitnya buku kedua tentang sosiologi yang ditulis oleh Barsono. Lalu buku berjudul “Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia” oleh Hassan Shadily yang berisikan tentang kajian kajian sosiologi modern. Pada akhirnya, timbul kesadaran untuk menambah khasanah rakyat Indonesia akan ilmu sosiologi dengan menambahkan referensi referensi ilmu sosiologi dengan mengimpor buku dari luar negeri yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Berdasarkan keterangan perkembangan sosiologi di Indonesia diatas, dapat dikatakan bahwa sosiologi di Indonesia pada awalnya hanya sebagai pelengkap dan kemudian seiring perkembangan zaman dan kemerdekaan dan kebutuhan negara untuk mengetahui kondisi masyarakatnya maka sosiologi kemudian dijadikan ilmu pengetahuan. Yang hingga sekarang dapat kita lihat, sudah banyak jurusan Sosiologi di Universitas universitas di Indonesia dan di pelajaran SMA.

0 komentar:

Posting Komentar